Tribunpandawa.id, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) sudah jelas dan tidak bersifat multitafsir.
Penegasan ini disampaikan dalam sidang uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar pada Senin (6/10/2025).
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, hadir mewakili Pemerintah dalam perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025.
Ia menyampaikan bahwa dalil Pemohon, Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), yang menilai Pasal 8 menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak memiliki dasar kuat.
Frasa “Perlindungan Hukum” Tak Bisa Dipahami Terpisah
Menurut Fifi, frasa “perlindungan hukum” dalam Pasal 8 UU Pers tidak dapat dimaknai secara terpisah, melainkan harus dipahami dalam kerangka sistem hukum nasional yang berlaku.
“Penjelasan Pasal 8 UU Pers sudah secara eksplisit menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai peraturan perundang-undangan,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim MK.
Norma Terbuka, Bukan Multitafsir
Fifi menambahkan, Pasal 8 bersifat open norm atau norma terbuka. Sifat ini justru menjadi bentuk fleksibilitas hukum, yang memungkinkan penyesuaian terhadap dinamika sosial dan perkembangan media tanpa menghilangkan esensi perlindungan terhadap wartawan.
“Norma terbuka ini memberikan ruang adaptasi terhadap perubahan hukum dan kebutuhan lapangan, sekaligus menegaskan jaminan perlindungan bagi insan pers,” tegasnya.
Dengan demikian, Pemerintah menilai bahwa UU Pers tetap konsisten memberikan perlindungan hukum bagi wartawan sebagai bagian penting dari kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.*
