Tribunpandawa.id, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus korupsi besar di sektor perbankan daerah. Berdasarkan hasil penghitungan awal, kerugian keuangan negara dalam perkara kredit fiktif di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha (Perseroda) ditaksir mencapai Rp254 miliar.
Sebagai langkah optimalisasi pemulihan aset, KPK telah menyita berbagai barang bukti, di antaranya:
Agunan 40 debitur fiktif berupa 136 bidang tanah/bangunan senilai sekitar Rp60 miliar.
Aset milik JH berupa uang tunai Rp1,3 miliar, empat unit mobil SUV, dan dua bidang tanah.
Aset milik MIA berupa uang Rp11,5 miliar, satu rumah tanah, dan satu unit mobil.
Aset milik AM berupa satu bidang rumah tanah serta satu unit sepeda motor.
Lima orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni:
JH, Direktur Utama PT BPR Jepara Artha.
IN, Direktur Bisnis dan Operasional.
AN, Kepala Divisi Bisnis, Literasi dan Inklusi Keuangan.
AS, Kepala Bagian Kredit.
MIA, Direktur PT BMG sekaligus pihak swasta.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Para tersangka kini ditahan untuk 20 hari pertama, mulai 18 September hingga 7 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK.
Modus Kredit Fiktif
Kasus ini bermula dari kesepakatan antara JH dan MIA pada 2022 untuk membuat 40 kredit fiktif dengan total pencairan Rp263,6 miliar. Proses pencairan dilakukan tanpa analisis kelayakan debitur.
Langkah ini bertujuan menutupi kerugian keuangan PT BPR Jepara Artha. Sebagai kompensasi, debitur fiktif masing-masing menerima minimal Rp100 juta.
Tidak berhenti di situ, MIA juga memberikan “imbalan” berupa fee, yakni:
Rp2,6 miliar untuk JH.
Rp793 juta untuk IN.
Rp637 juta untuk AN.
Rp282 juta untuk AS.
Serta fasilitas umroh senilai Rp300 juta untuk JH, IN, dan AN.
KPK menegaskan akan terus menelusuri aset para tersangka dan tidak menutup kemungkinan menetapkan pihak lain sebagai tersangka apabila ditemukan bukti baru.*
