Prada Lucky baru dua bulan mengabdi di TNI AD. Mei lalu, ia lulus pendidikan di Buleleng, Bali, sebelum ditempatkan di Yon TP 834/WM. Namun, perjalanan hidupnya terhenti tragis, meninggalkan mimpi-mimpi yang tak sempat diwujudkan.
Kodam IX/Udayana bergerak cepat menyelidiki kasus ini. Wakil Kepala Penerangan Kodam IX/Udayana, Letkol Inf. Amir Syarifudin, menyebut sebanyak 20 prajurit telah diperiksa sebagai saksi.
''Dari jumlah itu, empat orang diamankan Subdenpom Kupang untuk pemeriksaan lanjutan. Status mereka belum resmi ditetapkan sebagai terduga pelaku,” jelasnya, Jumat (8/8).
Tim investigasi gabungan dari Subdenpom Kupang dan Intelijen kini mengumpulkan bukti dan keterangan di lapangan. Kodam IX/Udayana memastikan proses ini akan dilakukan secara transparan, menjunjung tinggi hukum, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Namun, duka mendalam di keluarga korban beriring dengan tuntutan tegas. Ayah almarhum, Serma Kristian Namo, meminta pelaku dijatuhi hukuman berat. “Saya minta dua hal, pecat dan hukum seumur hidup atau mati.
''Jika hukum diam, saya akan gali kembali anak saya dari kuburan dan bawa ke pihak yang bertanggung jawab,” ujarnya dengan nada tegas.
Ibu kandung Prada Lucky, Eppy Mirpey, juga menyerukan hukuman mati. “Kalau anak saya salah, keluarkan saja dari dinas. Tapi jangan dibina dengan cara dibunuh.
Nyawa harus diganti nyawa. Kalau pelaku hanya dipecat, mereka bisa hidup bebas, sementara anak saya sudah tidak ada,” ungkapnya pilu.
Kasus ini menjadi ujian bagi transparansi penegakan hukum di tubuh TNI. Setiap nyawa prajurit adalah amanah negara, dan setiap misteri kematiannya pantas diungkap hingga tuntas.*

