Trbunpandawa.id, Tangsel - Drama dunia pendidikan kembali mencuat bisa di Kota/kabupaten manapun,dan ini sudah terjadi di Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Bukan soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), tapi kali ini giliran harga seragam sekolah yang bikin geger para orang tua siswa 15 Juli 2025.
Seragam yang seharusnya jadi perlengkapan wajib masuk sekolah, kini menjelma jadi momok keuangan.
Di berbagai SMP Negeri di Tangsel, keluhan mengalir deras soal mahalnya biaya seragam bahkan menyentuh angka Rp2 juta lebih!
Simak deretan "harga fantastis" yang bikin geleng-geleng kepala:
SMPN 1 Tangsel: Rp1.140.000 untuk siswa laki-laki, Rp1.350.000 untuk perempuan.
SMPN 8 Tangsel: Tembus Rp1.445.000.
SMPN 11 Tangsel: “Hanya” Rp950.000, tapi tetap terasa berat.
SMPN 12 Tangsel: Total Rp1.700.000, termasuk seragam, LDKS, dan tes IQ.
SMPN 9 Tangsel: Rekor tertinggi sejauh ini Rp2.050.000 untuk paket lengkap!
Anehnya, pembayaran umumnya harus tunai tanpa cicilan.
Salah satu wali murid mengaku tak diberi pilihan pembayaran bertahap. “Semuanya harus lunas. Berat banget, padahal anak baru masuk,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar angka, persoalan meruncing ke transparansi mekanisme pembelian.
Banyak orang tua merasa diarahkan untuk membeli di koperasi sekolah, meski pihak sekolah mengklaim tidak mewajibkan.
Seperti diungkap Ana, wali murid SMPN 9 Tangsel:
“Saya bayar Rp2.050.000. Itu udah termasuk semua seragam Senin Jumat, olahraga, sepatu, topi, dasi, dan lainnya. Gak ada penjelasan jelas soal bisa beli di luar,” ujarnya.
Azis, Ketua Koperasi SMPN 9, menepis tudingan kewajiban membeli:
“Kami hanya menyediakan item khusus, seperti almamater, batik, atau topi berlogo sekolah. Sisanya bebas beli di luar,” jelasnya.
Namun kenyataannya, opsi "bebas beli" ini jarang tersosialisasi secara terbuka. Orang tua pun merasa “terjebak” karena khawatir anaknya berbeda sendiri kalau tak beli di sekolah.
Isu Membengkak, Kritik Meningkat
Keluhan ini meletup setelah PPDB rampung dan pembayaran seragam dimulai. Sorotan tajam pun datang dari berbagai kalangan terhadap tiga persoalan utama:
1. Beban Ekonomi Tinggi Tak semua keluarga mampu bayar tunai hingga jutaan rupiah.
2. Minim Transparansi nTidak ada kejelasan opsi pembelian di luar sekolah.
3. Peran Komite Sekolah Keterlibatan mereka dalam mekanisme ini butuh ditelusuri lebih lanjut.
Fenomena ini menjadi peringatan keras bagi Dinas Pendidikan di Kota/Kabupaten manapun. Pendidikan adalah hak dasar, bukan beban ekonomi. Jika tak segera ditangani, “seragam mahal” bisa jadi simbol baru ketimpangan dalam akses pendidikan.
Masyarakat menuntut kejelasan, keterbukaan, dan keadilan bukan lagi basa-basi.*
